Kafkaesque Adalah
Kafkaesque: Keabsurdan Eksistensi Manusia
Dalam novel The Trial, salah satu karya Franz Kafka, sang tokoh utama Josef K. ditangkap tanpa tahu apa-apa dan dipaksa menjalani proses hukum dimana sebab penangkapan maupun proses pengadilannya dibiarkan tidak transparan. Detail mengenai kejujuran sidangnya pun samar, dan hingga akhir cerita, K. tetap tidak mengetahui sedikitpun mengenai tuntutannya atau sekedar apa alasan ia ditangkap.
Skenario seperti inilah yang dianggap khas sekali dengan Kafka, sehingga dibuatlah suatu istilah tersendiri untuk mendeskripsikan ciri khas ini: kafkaesque, menggambarkan situasi yang sungguh rumit, absurd, dan tidak logis; dan dalam karya-karya Kafka, seluruh aspek ini dibingkai dalam dunia birokrasi, yang berkaitan dengan latar belakang Kafka sebagai juru tulis asuransi di Praha pada awal abad ke-20. Kebanyakan tokoh utamanya adalah pekerja kantoran yang menjalani hari-harinya menavigasi hidup mereka melalui jaring-jaring hambatan dunia birokrasi demi mencapai tujuan mereka, dan seringkali seluruh situasinya digambarkan sebagai sesuatu yang absurd, sehingga kesuksesan tidak lagi berarti.
Namun keabsurdan dunia birokrasi sendiri bukanlah satu-satunya ciri Kafkaesque. Sebagai contoh, dalam Poseidon, sang dewa laut tenggelam dalam pekerjaannya mengurus dokumen sehingga ia tidak punya waktu menjelajahi kerajan bawah lautnya. Meski benar humor dalam cerita ini adalah bahkan seorang dewa sekalipun tidak dapat menangani jumlah pekerjaan yang dituntut tempat kerja modern, dalam cerita tersebut disebutkan juga bahwa Poseidon sendiri menolak mendelegasikan satupun pekerjaannya kepada bawahannya karena ia menganggap tidak ada yang layak untuk mengerjakan pekerjaan seorang dewa. Poseidon adalah tawanan egonya sendiri—dan hal inilah yang juga mendeskripsikan ciri Kafkaesque: ironi dari alasan tokoh-tokohnya merespon dan bereaksi terhadap situasi-situasi mereka.
Dalam Metamorphosis, salah satu karya Kafka yang paling terkenal, Gregor Samsa terbangun dan mendapati dirinya telah berubah menjadi serangga seukuran manusia. Namun pikiran pertama Gregor bukanlah untuk mencari tau apa dan mengapa hal ini terjadi. Kekhawatiran pertama Gregor adalah apakah ia bisa berangkat kerja tepat waktu. Tentu saja hal ini terbukti mustahil hingga akhir cerita.
Bahkan dalam The Trial, seluruh sistem hukum dan prosedur yang dilalui K. menyiratkan sesuai yang lebih sinis: momentum buruk dari sistem ini tidak dapat diinterupsi, bahkan oleh pihak-pihak yang seharusnya memiliki otoritas. Semuanya merupakan bagian dari sistem yang tujuan utamanya bukanlah keadilan, melainkan hanya sesuatu untuk melanggengkan dirinya sendiri.
Hingga saat ini, unsur-unsur Kafkaesque dapat dilihat di kehidupan kita sehari-hari. Kehidupan kita bergantung pada sistem administrasi berbelit yang memiliki dampak nyata di setiap aspek kehidupan kita secara langsung, dan pada akhirnya, kita mendapati diri kita sendiri dihakimi oleh sosok yang tidak dapat kita lihat dan terikat oleh peraturan yang tidak kita ketahui. Namun di sisi lain, Kafka juga menyiratkan dan mengingatkan bahwa sistem tempat kita hidup ini adalah sistem yang juga dibuat kita sendiri, dan kita memiliki kekuatan untuk mengubahnya.
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Sebagaimana Haruki Murakami menghiasi novel-novelnya dengan kisah-kisah individual, sosial dan sejarah yang penuh dengan kesan-kesan kegelapan, maka tidak heran bila karya-karyanya sering dikomentari oleh para kritikus sastra sebagai karya yang surealistik dan nihilistik. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pembawaan Kafkaesque atau aliran Kafka yang sering menjadi ciri khas tulisan-tulisan Murakami, dengan mengusung tema kesendirian dan pengasingan.
Karya Kafka sendiri muncul dan menjadi perbincangan justru ketika ia telah meninggal. Kenyataan lebih menyenangi ide, pikiran dan tulisan dari penulis yang telah meninggal ini juga muncul dalam karakter Toru Watanabe pada novel tulisan Murakami yang berjudul Norwegian Wood, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987.
Watanabe yang gemar membaca, mengakui hal itu saat ia ditanyai oleh Midori, jenis buku bacaan seperti apa yang paling disenanginya. Midori adalah teman kuliah Watanabe di Tokyo. Ia adalah tipe wanita yang tampil apa adanya, berbicara ceplas-ceplos, penuh semangat dan bertanggung jawab terhadap keluarga.
Ini adalah tipe yang sedikit berbeda dengan Watanabe yang terkadang agak serius, meskipun adalah pribadi yang cukup menyenangkan, dan dapat menerima siapa saja apa adanya. Di samping itu, ia juga suka bimbang, karena itulah ia terjebak dalam perasaannya di antara Midori dan Naoko, wanita cinta pertamanya. Tapi begitulah kehidupan dengan dua hal yang saling berkebalikan menemukan caranya secara unik untuk menciptakan keseimbangannya sendiri.
Murakami dalam kiprah kepenulisannya juga pernah mendapatkan penghargaan Franz Kafka Prize, pada tahun 2006 yang lalu. Salah satu karyanya yang lain berjudul Kafka on the Shore, sebuah novel yang terbit pada tahun 2002 yang lalu. Berbeda dengan sikap Watanabe, Steven Poole dari The Guardian memuji Haruki Murakami sebagai "salah seorang di antara novelis hidup terbaik dunia" terkait karya-karya dan capaian-capaiannya.
Kembali ke Kafkaesque, bahwa hidup di dunia ini tidak terlepas dari atau bahkan mungkin dikepung oleh sejumlah kesuraman yang hanya tampak sebagiannya, tapi barangkali lebih banyak yang tidak, namun terasa. Maka sebagai kata sifat, Kafkaesque, dapat diartikan sebagai sifat dari manusia-manusia yang hidup di zaman postmodern yang sering kali tampak dan terasa menyimpang, dalam karakter yang terdistorsi surealitas, dan dengan pengertian yang tidak biasa seperti menantikan datangnya ancaman dan bahaya dalam dunia yang suram.
Itu adalah gambaran yang berhubungan dengan cara-cara Kafka menuangkan tulisan-tulisannya. Tampak rumit dan sukar dimengerti jalan ceritanya, tapi sesungguhnya demikianlah fakta yang terjadi di sekitar dan dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani.
Mengutip pendapat Bryan Stanley Turner, seorang sosiolog berkebangsaan Inggris dalam buku "Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat" (2008), bahwa postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan tentang baik dan buruknya untuk hidup dengannya. Pada postmodernitas, kesempatan yang terbuka tercerabut dari ancaman-ancaman yang bersembunyi di balik setiap kesempatan.
Kondisi sosial seperti ini diakibatkan oleh pengaruh teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, hiperkonsumerisme, deregulasi pasar modal dan komodifikasi kepentingan-kepentingan publik.
Pada era ini, stabilitas dan kemapanan dalam konsep negara bangsa adalah hal yang sudah usang. Maka tidak heran, saat ini orang-orang Barat menjadi lebih banyak mencoba kembali ke cara-cara hidup tradisional. Mereka berwisata ke desa-desa, berpakaian dan mengerjakan hal-hal sesuai keseharian orang-orang desa, mereka bertamsya ke ladang atau sawah-sawah.
Bahkan manusia sekarang cenderung kembali membesar-besarkan hal-hal pramodern, seperti metafisika, mitos dan sihir. Maka tidak heran, tayangan televisi yang menyediakan segmen acara untuk hal-hal yang berbau mistik dan klenikpun banyak juga peminatnya, bahkan diharapkan dapat menaikkan rating stasiun televisi. Tidak hanya di negara-negara dunia ketiga yang masih tradisionil, tapi juga di Barat. Dan tidak heran juga, di era kapitalisme mutakhir ini juga sangat berkembang relativisme, ironi dan parodi, sebagaimana disampaikan oleh Turner.
Lihat Filsafat Selengkapnya
Pada suatu pagi yang cerah, Josef K., kepala kasir sebuah bank yang ambisius itu ditangkap oleh dua orang petugas keamanan tak dikenal. Mereka bahkan tidak memberi tahu kejahatan apa yang dituduhkan atasnya.
K merasa tidak melakukan suatu yang salah, ia geram dan marah. Karena hari itu adalah hari ulang tahunnya yang ketiga puluh. Ia memang tidak ditahan dalam penjara dan dijinkan untuk tetap melanjutkan kegiatan sehari-harinya, sampai dipanggil oleh pengadilan.
Nyonya Grubach, induk semangnya itu menduga bahwa K akan disidang terkait hubungan gelapnya dengan Fräulein Bürstner, tetangga di sebelah.
K lalu diperintahkan untuk hadir di persidangan pada hari Minggu, namun tidak diberi tahu tanggal dan ruangan sidang yang mana.
Akhirnya K menemukan juga ruang sidang itu di loteng, namun ia datang terlambat. Ia berusaha membela diri dengan menyatakan bahwa tuduhan atas dirinya tersebut tidak berdasar. Ini justru membuat gusar pihak yang berwenang.
Alih-alih mendapat keterangan terkait kesalahannya, K justru dibawa masuk ke dalam jalur birokrasi yang rumit, berliku-liku, tak berujung, serba lamban dan berbelit-belit, yang membuatnya tidak dapat keluar dan terjebak di dalamnya. K bergulat menghadapi Hukum yang gaib dan Pengadilan yang tak tersentuh itu.
Setahun kemudian, pada pagi di hari ulang tahunnya yang ketiga puluh satu. Dua aparat keamanan datang lagi menjemput K dan membawanya ke suatu tempat di luar kota. Lalu atas nama Hukum membunuhnya seperti seekor anjing.
Cerita ini ditulis oleh Franz Kafka (1883–1924) antara 1914-1915, di saat ia menjadi pegawai Asuransi Kecelakaan Pekerja di Kekaisaran Bohemia. The Trial (1925) merupakan satir untuk menelanjangi birokrasi Austro-Hungarian saat itu.
Buku The Trial, Franz Kafka. (Sumber: https://www.goodreads.com)
Kafka dengan lihai menuliskan proses pengadilan yang bobrok, korup dan menjijikkan. K berulang kali bertabrakan dengan keadaan hukum yang rusak itu. Kafka secara gamblang ingin mengatakan bahwa ada kepalsuan namun dianggap sebagai kebenaran universal.
Hukum yang seharusnya merangkul masyarakat, malah hanya berpihak pada mereka yang mengerti dan berhubungan dengan hukum saja. Bayangkan saja, untuk mengerti hukum orang harus berkonsultasi dengan mereka yang berkecimpung dalam hukum, sehingga ia tidak dapat mengurus proses hukumnya sendiri.
Karya surealis khas Kafka ini sering dirujuk dengan istilah Kafkaesque. Surealisme menyajikan kontradiksi antara mimpi dan realita, lalu menjadikannya nyata ke dalam sebuah narasi yang menampilkan objek-objek nyata. Namun dalam keadaan yang tidak akan mungkin terjadi di dunia nyata, sebagaimana di dalam alam bawah sadar manusia.
Tokohnya itu diserang oleh keadaan yang rumit namun terus berjuang untuk melawan absurditas. Meskipun hanya memiliki pengetahuan dangkal tentang apa yang sedang menimpanya. Perjuangan melawan kebuntuan dan determinisme itu disebut sebagai Kafkaesque. Ketika si tokoh lebih memilih menerima tantangan absurditas itu dan berjuang di dalamnya, meskipun secara berantakan.
Kafkaesque adalah situasi buntu, menyergap, menekan dan keadaan yang rumit serta absurd, yang berasal dari sesuatu yang nyata. Keadaan yang membawa seseorang ke dalam perasaan yang penuh kegelisahan dan putus asa, yang secara retoris diungkapkan dengan cara paradoks, ironi dan tindakan yang bertentangan secara tiba-tiba.
Dunia Kafkaesque sering tidak bersahabat, menakutkan, berbahaya, seperti sedang mengintai di balik kegelapan. Tokoh cerita Kafka sering menjadi sasaran kekerasan secara fisik dan psikologis, yang bersifat absurd dan dehumanis.
Selain suram dan opresif seperti itu, Kafkaesque juga merupakan sebuah tafsir yang kuat tentang keadaan manusia. Yang menyoroti berbagai jalan yang diambil oleh seseorang pada akhirnya yang menjebaknya di dalam perangkap sistem opresif, lalu kehilangan martabat, agensi dan individualitas. Serta sebuah peringatan tentang bahaya birokrasi dan pentingnya akuntabilitas dan transparansi di dalam sisten yang menata manusia.
Kafkaesque akan tetap gayuh, apakah dalam bentuk sastra, film dan seni, untuk menggambarkan dan menyajikan pengalaman nyata hidup seorang manusia. Oleh sebab itu, Richard Rorty (1931-2007) juga pernah mengatakan bahwa dunia postmodern ini tidak banyak membutuhkan filsafat dan seni yang berakal teoritis.
Dunia saat ini lebih mengharapkan para penyair, novelis, etnograf dan wartawan. Karena mereka dengan cara masing-masing mampu menghadapkan manusia kepada penderitaan nyata seseorang, bahwa manusia itu mudah terluka, disakiti dan terhina.
Mereka itu dapat membawa manusia mencapai imaginative identification with the details of others. Karena makin seseorang mampu ikut merasakan, beridentifikasi dengan penderitaan hidup orang lain, maka semakin ia akan tahu bahwa manusia jangan bersikap kejam dan tahu cara menghidari sikap kejam itu.
Setelah tiga ratus tahun Pencerahan berbangga dengan proyeknya, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat kenyataan, dengan membongkar otoritarianisme agama atas nama rasionalitas. Slogan Abad Pencerahan, yaitu “Sapere Aude!” artinya “Beranilah Berpikir Sendiri!”. Immanuel Kant (1724-1804) mengajak orang-orang untuk berani dan bebas menggunakan akalnya. Lalu datang Alasdair MacIntyre dengan tegas menyatakan bahwa “Proyek Pencerahan itu telah gagal”.
Pencerahan sebagai gerakan intelektual dan filsafat di Eropa antara abad ke-17 sampai ke-18, ditandai dengan munculnya gagasan tentang kebahagiaan manusia, pencarian pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran rasional dan pengamatan panca indra. Cita-cita ideal mereka adalah kebebasan, kemajuan, toleransi, persaudaraan, pemerintahan konstitusional dan pemisahan gereja (agama) dan negara.
Namun MacIntyre melihat bahwa kerusakan dan ketimpangan yang terjadi saat ini berasal dari pandangan dunia yang salah, yang kemudian melahirkan etika yang salah juga. Pandangan yang salah ini bermula pada Proyek Pencerahan tersebut.
MacIntyre menemukan bahwa pandangan moral saat ini terpecah-pecah, saling bertentangan dan tidak koheren. Tidak ada ukuran dasar tertentu, yang menyatakan sebuah pandangan moral itu benar atau salah. Setiap penilaian moral dapat mendaku dirinya benar dengan didasari oleh argumen rasional yang kuat. Moralitas menjadi permainan argumentasi dan bukan pencarian kebenaran.
Proyek Pencerahan itu memang telah memberikan suatu dasar rasional kepada moralitas, namun gagal karena Pencerahan atas nama rasionalitas itu justru membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral. Yaitu pandangan teleologis tentang manusia. Karena bagi MacIntyre, etika merupakan panduan yang menghantar manusia kepada suatu tujuan (telos), yaitu kodrat hakikinya.
Filsafat Pencerahan bertujuan membebaskan manusia dari spekulasi metafisik skolastik (Gereja) Abad Pertengahan dan merayakan kemenangan pengetahuan ilmiah rasional. Filsafat Pencerahan ingin membebaskan manusia dengan membentuk sendiri kodrat hakikinya. Maka ia menolak segala pandangan tentang kodrat manusia yang teleologis, seakan-akan manusia telah memiliki suatu hakikat yang sejati.
Padahal menurut Aristeoteles, kemungkinan tertinggi manusia adalah merealisasikan telosnya. Maka dari itu MacIntyre mengajak masyarakat postmodern kembali pada etika teleologis Aristoteleian.
Etika Kant merupakan bukti dari kegagalan Proyek Pencerahan dan sumber subjektivisme moral. Karena Kant-lah yang memulai pemisahan antara pengetahuan tentang realitas dan pengetahuan tentang moralitas. Maka Etika setelah Kant menganggap moralitas itu bersifat subyektif, sehingga tidak banyak berhubungan dengan realitas hidup manusia.
Demikian juga Etika Emotivistik, yang menganggap bahwa tidak ada hukum moral yang bersifat normatif dan mengikat. Emotivisme ini melihat bahwa pernyataan-pernyataan manusia tentang moralitas itu merupakan ekspresi perasaan, bahwa pernyataan moral bersifat emotif belaka, yang tidak dapat diverifikasi kebenaran atau kesalahannya.
A. J. Ayer (1910-1989) sesuai dengan pandangan Positivisme Logis menolak bahwa pernyataan moral menyatakan sesuatu apapun, maka tidak masuk akal jika menerima pembenarannya. Etika normatif itu tidak masuk akal, karena menurut Ayer tugas etika adalah analisis logis pernyataan dan bahasa moral. Sebab pernyataan tersebut sesungguhnya bukan pernyataan sama sekali. Namun sebuah ungkapan perasaan, yang secara gramatika keliru dan diikuti anjuran atau perintah.
Misalnya pernyataan, “Korupsi adalah perbuatan tidak baik”, sesungguhnya mengungkapkan perasaan menolak dan tidak enak serta harapan agar orang jangan korupsi. Pernyataan moral itu tidak memiliki makna kognitif, tetapi emotif. Pernyataan yang mengungkapkan perasaan seseorang supaya orang lain memiliki perasaan yang sama.
MacIntyre menambahkan bahwa filsafat moral tidak hanya bersifat emotivistik tetapi juga instrumental. Rasiona instrumental ini digunakan untuk membenarkan sistem moral yang dipilih, mana yang paling efektif untuk mencapai tujuan. Rasio hanyalah alat untuk mengkalkulasi tindakan untuk mencapai tujuan dan tentang tujuan sendiri rasio harus diam.
Keadaan terpecah-terpecah saat ini terjadi karena memang tidak ada persetujuan dan kriteria bersama mengenai moralitas. Situasi seperti ini menjadi sangat berbahaya karena merupakan akar dari seluruh permasalahan yang dihadapi oleh manusia saat ini. Manusia modern tidak memiliki acuan bersama tentang “manusia yang baik” dan berarti tidak ada persetujuan moralitas untuk mencapai hidup yang baik.
Namun MacIntyre percaya bahwa moralitas klasik masih lebih unggul dan mendasar dibandingkan moralitas modern. Maka ia mengajak dunia kembali pada etika Aristoteles. Karena bagi MacIntyre etika itu bukanlah mengenai “Apa yang wajib saya lakukan?”, melainkan “Saya harus menjadi manusia seperti apa?”. Kata yang digunakan terkait etika ini adalah “keutamaan”.
Keutamaan berasal dari kata bahasa Yunani arete, dalam bahasa Latin virtus. Virtue dalam bahasa Inggris, sedangkan kata sifatnya adalah virtuous yang diterjemahkan “saleh”.
Dalam budaya Yunani kata arete diartikan sebagai kekuatan atau kemampuan, misalnya untuk berperang atau untuk bertani atau membuat kereta kuda. Arete adalah kemampuan seseorang untuk melakukan perannya dengan baik, kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia, untuk mencapai telos-nya, tujuan internalnya. Keutamaan lebih kental dimaknai sebagai moralitas.
Keutamaan itu selalu adalah kekuatan, kemampuan dan kelebihan. Kemampuan manusia untuk membawa diri sebagai manusia utuh, jadi bukan “kesalehan” saja. “Manusia utama” adalah manusia yang luhur, kuat, kuasa untuk melakukan dan menjalankan apa yang baik dan tepat, untuk melakukan tanggung jawabnya. Maka ini tidak boleh dipersempit secara moralistik.
MacIntyre mengeksplorasi pengertian “keutamaan” dengan membagi tiga pandangan khas tentang manusia, yang merupakan kerangka untuk memahami manusia, yaitu: Practice, “kegiatan bermakna”. Narrative of a single human life, “tatanan naratif kehidupan seseorang” dan Moral tradition, “tradisi moral”.
Kegiatan bermakna adalah semua tindakan manusia yang diteguhkan secara sosial. Yaitu suatu tindakan yang mempunyai maksud sosial, yang diatur secara formal maupun tidak formal. Tindakan atau kegiatan ini merupakan kesatuan bermakna, misalnya bercocok tanam, penelitian budaya dan berdagang.
Kegiatan bermakna ini mengaktualisasikan nilai-nilai internal melalui tindakan tertentu. Perealisasian ini bertujuan untuk mencapai standar-standar keutamaan yang sesuai dengan bentuk tindakan tertentu itu.
Kegiatan bermakna berbeda dari kegiatan biasa. Misalnya, bermain sepak bola dari main-main dengan bola. Kegiatan bermakna mempunyai nilai internal, seperti bermain bola adalah menyenangkan dan dapat mengandung nilai eksternal, misalnya jika menang, harga diri dan gengsi akan naik serta dapat uang banyak. Namun jika nilai eksternal ini diutamakan, maka kegiatan bermakna itu akan rusak.
Sedangkan nilai internal tidak akan merusak kegiatan bermakna, sebab kalah menang dalam bermain bola tidak menentukan apakah bermain bola itu menyenangkan atau tidak.
Nilai internal dalam kegiatan bermakna ada dua macam. Pertama adalah mutunya, kualitasnya. Kedua adalah bahwa kegiatan bermakna itu, bernilai bagi pelakunya. Makin banyak kegiatan bermakna yang dilakukan dan berjalan semestinya, makin bernilai hidup pelakunya.
Kegiatan bermakna mengandaikan standar-standar mutu dan ketaatan kepada aturan-aturan serta pencapaian sesuatu yang bernilai. Maka kualitas yang diperoleh dari keikutsertaan pelaku dalam sebuah kegiatan bermakna, tergantung dari sikap dan mutunya sebagai partisipan. Dalam keikutsertaannya itu ia berusaha untuk menampilkan yang terbaik, terampil dan tidak malas.
Orang yang berpartisipasi dalam kegiatan bermakna dengan sendirinya harus mempunyai kualitas. Kualitas, kebolehan dan keterampilan ini disebut sebagai keutamaan. Keutamaan adalah mutu (excellency), atau kemampuan, atau kekuatan seseorang dalam berpartisipasi dalam sebuah kegiatan bermakna.
Menurut MacIntyre ada tiga keutamaan yang tidak bisa tidak harus ada, apabila sebuah kegiatan bermakna mau mencapai mutu internalnya, pertama yaitu kejujuran dan kepercayaan (truthfulness dan trust). Jika orang bersama-sama melakukan sebuah kegiatan bermakna dan salah seorang menipu, maka maknanya hilang.
Kedua adalah keadilan (justice), yang menuntut agar orang lain diperlakukan sesuai dengan standar-standar kegiatan bermakna yang bersangkutan. Ketiga adalah keberanian (courage), yang dibutuhkan karena jika orang, begitu mengalami perlawanan, mundur dan berhenti dari melakukan bagiannya untuk melakukan kegiatan bermakna, maka kegiatan itu tidak dapat berhasil. Oleh sebab itu kejujuran, keadilan dan keberanian merupakan keutamaan yang sejati.
Keutamaan-keutamaan ini sangat penting bagi terpeliharanya sebuah kegiatan bermakna. Keutamaan menjamin supaya nilai internal kegiatan bermakna tercapai. Nilai sebuah kegiatan bermakna harus merupakan unsur yang didukung oleh, dan sebaliknya menunjang nilai kehidupan seseorang secara keseluruhan. Sebuah kegiatan bermakna baru bermakna kalau terintegrasi dalam dinamika suatu kehidupan manusia secara keseluruhan.
Narrative of a single human life
Suatu kegiatan bermakna hanya bermakna manusiawi sejauh terintegrasi dalam keseluruhan hidup seseorang secara bermakna. Prinsip ini berlawanan dengan pemikiran zaman sekarang, yang memandang hidup manusia terdiri dari sederet kejadian atau keadaan yang tidak saling berkaitan. Kegiatan manusia terbagi-bagi atas wilayah yang tidak mempunyai kaitan satu dengan yang lain.
Berdasarkan pandangan behavior (kelakuan), MacIntyre mengatakan bahwa kelakuan lahiriah tidak dapat didefinisikan, kecuali dikaitkan dengan maksud tertentu dan maksud itu tidak terlepas dari sebuah situasi yang harus dimengerti dalam sebuah deretan waktu, sebuah sejarah.
Jika orang mengerti maksudnya, apa yang menyebabkan dan tujuannya, barulah ia dapat mendefinisikannya. Setiap tindakan pengungkapan dapat dimengerti apabila menemukan tempatnya dalam sebuah cerita. Kesatuan tindakan manusia itu berupa cerita, tindakan itu bersatu karena merupakan sebuah cerita.
Apa yang berlaku bagi setiap kegiatan, berlaku juga bagi identitas seseorang secara keseluruhan, yang terwujud dalam kesatuan sebuah cerita tentang kehidupan itu. Identitas orang terbangun atas tatanan naratif kehidupannya. Kesatuan kehidupan masing-masing orang adalah kesatuan sebuah cerita yang terwujud dalam kehidupan orang itu.
Melaluinya juga, manusia mengandaikan dalam kehidupannya mempunyai suatu telos, suatu tujuan internal yang sekaligus merupakan nilai internal dalam kehidupannya. Maka, arti keutamaan bagi manusia merupakan sikap atau kemampuan internal yang membuat orang dengan kuat mengejar cita-citanya, tidak menyerah terhadap segala macam tantangan dan kesulitan, tidak dialihkan ke segala hal sampingan, tidak tercecer dalam usaha mengejar keutuhan dirinya.
Seorang manusia tidak pernah hidup sendirian, tetapi selalu tertanam dalam suatu komunitas, di mana ia memperoleh identitasnya. Orang hanya menjadi dirinya karena merupakan anggota dari komunitasnya dan terikat pada lingkungannya. Semuanya ini merupakan realitas hidupnya, yang menjadi titik moralnya.
Ini yang memberikan hidupnya suatu kekhasan moralnya tersendiri. Orang itu menemukan dirinya sebagai bagian dari suatu sejarah, dan sejarah itu merupakan pembawa tradisi. Maka, kegiatan bermakna merupakan tradisi yang hanya dapat dimengerti dalam rangka sebuah tradisi yang lebih luas, ia merupakan bagian darinya.
MacIntyre menyatakan bahwa tradisi bukan kepercayaan irasional. Namun tradisi merupakan perjuangan terus-menerus terkait dengan nilai-nilai yang sejati. Tentang apa yang baik dan buruk, wajib dan tidak wajib, bagaimana manusia sebaiknya hidup melalui banyak generasi.
Usaha seorang individu untuk mencari tujuannya sendiri dan mencapai hidup bermakna berlangsung dalam sebuah konteks, yaitu tradisi di mana individu itu berada. Dengan menceritakan sejarah itu, orang memastikan kembali makna kegiatan bermakna dan makna tujuan hidupannya sendiri. Di sini MacIntyre menunjuk satu keutamaan lagi, yaitu bahwa orang menyadari dan menghargai tradisi yang dihidupi dan dihadapinya.
Keutamaan itu berlangsung dalam hidup praktis sehari-hari, sebagai perilaku tetap yang tercermin dalam sikap, penampilan luar dan watak batiniah seseorang. Itulah yang membentuk dirinya pada saat ini dan di kemudian hari.
Untuk hal tersebut Aristoteles menggunakan secara khusus istilah hexis, yaitu kecenderungan perilaku tetap seorang individu yang telah menjadi kebiasaan melalui pengalaman dan praktik.
Menurut Aristoteles hexis tidak dapat dilepaskan dari telos manusia, yaitu menjadi utuh, lengkap dan sempurna, melalui dan di dalam kebiasaan tindakan dan perilakunya.
Héxis adalah sebuah prinsip dan kapasitas yang menghasilkan tindakan-tindakan selanjutnya di kemudian hari. Kata Yunani hexis dalam bahasa Latin habitus, menunjukkan watak perilaku tetap yang tercermin dalam sikap seseorang, di penampilan luar dan watak batiniahnya.
Habitus mencakup keseluruhan perilaku individu, dari cara berbicara, gerak tubuh hingga nilai-nilai pribadi dan seluruh gaya hidup. Dalam budaya Romawi, habitus menunjukkan pada bentuk perilaku dan ekspresi yang sangat spesifik, seperti postur tubuh, cara berbicara dan sikap mental. Pada masa Renaisans, kategori-kategori ini dilengkapi dengan gaya bicara tertentu serta nada bicara yang sesuai.
Namun keutamaan bagi Aristoteles bukan lawan dari sikap tidak baik dan jahat, melainkan sebagai tengah (mesotes) antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian (courage) berada di tengah antara nekad dan takut. Murah hati (generiosity) berada di tengah antara kikir dan boros. Keutamaan adalah sikap seimbang, yang menunjukkan kematangan dan kekuatan karakter serta kebijaksanaan (phronesis) seseorang.
Aristoteles mencatat setidaknya ada sebelas keutamaan, yaitu keberanian, kejujuran, keadilan, penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur, lemah lembut, keberadaban, harga diri dan persahabatan.
Menurut Aristoteles, Phronesis merupakan kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat terkait masalah baik dan buruk bagi manusia. Phronesis bertumbuh dan berkembang dari pengalaman dan kebiasan untuk bertindak moral. Semakin orang terbiasa bertindak moral, semakin mantap, berkualitas dan utuh telos-nya sebagai manusia berkeutamaan.
Kafkaesque menunjuk pada keadaan di kehidupan nyata manusia yang diungkapan dalam suatu bentuk “seni-nya” Kafka, khususnya dalam masa setelah Perang Dunia II, di bawah pengaruh filsafat eksistensialisme.
Kafkaesque secara jelas mengungkapkan kegelisahan, keterasingan, ketidakberdayaan dan penganiayaan seorang manusia di zaman itu. Karya Kafka dicirikan dengan latar mimpi buruk, di mana tokohnya itu diremukkan oleh kekuasaan yang buta dan tak berakal, yaitu birokrasi, rasio instrumental. Suatu keadaan yang absurd dari serangkaian perkembangan modernitas yang mengerikan.
Kafka menangkap dan mengungkapkan situasi masyarakatnya itu ke dalam karya sastranya. Seperti MacIntyre menemukan kegagalan Pencerahan yang telah mencabik-cabik kehidupan manusia modern. Namun Kafka tidak menteorikannya dalam suatu bentuk etika tertentu, tetapi ia membangun tokoh yang berkeutamaan dalam dunia yang absurd itu. Tokoh yang penuh keberanian, kebesaran hati dan harga diri menyambut dan tidak menyerah terhadap kengerian modernitas.
Keutamaan merupakan kemampuan manusia untuk merealisasikan potensi dirinya, melalui kegiatan-kegiatan bermakna. Di mana ia mendapatkan identitas dan itu dalam rangka tradisi di mana ia ada di dalamnya. Sehingga ia dapat menentukan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna, yang senantiasa diaktualisasikan kembali dengan menceritakan sejarah kegiatan bermaknanya, sejarah kehidupan pribadinya, sejarah tradisinya dan sejarah umat manusia.
Dalam The Metamorfosis (1915), Kafka menceritakan bahwa pada pagi itu, Gregor Samsa pemuda penjual kain keliling, bangun dan menemukan bahwa dirinya telah berubah menjadi serangga raksasa. Meskipun ia sempat terkejut atas perubahannya itu, namun ia segera mengalihkan pikirannya ke pekerjaannya demi memenuhi kebutuhannya dan menafkahi orang tua dan adiknya.
Buku Metamorphosis (Die Verwandlung), 1915. Franz Kafka (1883-1924). Sampul edisi pertama tahun 1916. Leipzig: Kurt Wolff. (Sumber: https://books0977.tumblr.com)
Gregor sadar bahwa ia sudah terlambat ke kantor, namun ragu untuk menelepon dan memberitahu bahwa ia sedang sakit. Karena ia belum pernah mengambil hari libur sakit sebelumnya, dan tahu bahwa hal ini mungkin akan membuat dirinya mendapat teguran keras.
Ibunya memanggilnya, namun saat ia menjawab melalui pintu kamar tidurnya itu, ia sadar bahwa suaranya telah berubah akibat menjadi serangga. Ketika keluarganya berusaha memasuki kamar tidurnya, mereka menemukan pintunya terkunci dan ia menolak mereka untuk masuk.
Ketika ada ketukan di pintu dan itu adalah kepala pegawai tempatnya bekerja, serta bertanya di mana Gregor berada. Ia tetap menolak membukakan pintu bagi keluarganya atau tamunya itu.
Kepala pegawai merasa terhina dan memberi tahu Gregor melalui pintu bahwa pekerjaannya belum cukup baik dan posisinya di perusahaan mungkin tidak aman.
Gregor berusaha membela diri, dan meyakinkan petugas itu bahwa ia akan segera kembali bekerja. Ia meminta kepala pegawai itu untuk membereskan segala sesuatunya di kantor untuknya. Namun, karena suaranya telah berubah, sehingga tidak ada yang bisa mengerti apa yang ia katakan.
Gregor membuka pintu dan ibunya berteriak saat melihatnya. Ia meminta maaf kepada kepala pegawai itu atas keterlambatannya. Melihat penampakan Gregor yang mengerikan itu, ia lalu lompat meninggalkan rumah tersebut.
Malam harinya, setelah pingsan dan tertidur sepanjang hari, Gregor terbangun dan saudara perempuannya itu membawakannya susu dan roti. Ia berusaha minum susu itu, tetapi merasa jijik lalu meninggalkannya.
Gregor merayap ke bawah sofa sehingga keluarganya tidak melihatnya. Sementara saudara perempuannya mencoba mencarikannya makanan yang bisa ia makan.
Gregor mendengar keluarganya berbicara di ruangan lain dan mengetahui bahwa meskipun mereka terlihat berhutang, orangtuanya memiliki simpanan sejumlah uang. Ia merasa telah bekerja untuk mendukung mereka, saat sebenarnya itu tidak perlu ia lakukan.
Selain perubahan suaranya, Gregor juga menyadari bahwa penglihatannya semakin memburuk sejak perubahan itu. Ia juga sadar bahwa ia senang memanjat dinding dan langit-langit kamar tidurnya.
Ketika Gregor keluar dari kamar, ibunya terkejut lalu pingsan dan saudara perempuannya menguncinya di luar. Ayahnya yang pulang dari kerja lalu melempar apel ke arahnya, melukainya parah, karena ia yakin Gregor pasti telah menyerang ibunya.
Adik perempuan Gregor memberi tahu orang tuanya bahwa mereka harus segera menyingkirkannya. Karena meskipun mereka telah berusaha merawatnya, ia telah menjadi beban. Ia tidak lagi membicarakan tentang Gregor sebagai saudara laki-lakinya, namun sebagai ‘itu’, makhluk asing yang tidak dapat dikenali.
Gregor mendengar percakapan ini, ia ingin melakukan hal yang benar untuk keluarganya. Jadi ia memutuskan untuk harus melakukan hal yang terhormat dan menghilang. Dia merayap lemah ke kamarnya, lalu mati. Keesokan paginya, perempuan tua pembersih rumah itu menemukan tubuh serangga Gregor itu, kemudian segera membuangnya.
Gray, Richard T. Gross, Ruth V. Goebel, Rolf J. and Koelb, Clayton. A Franz Kafka Encyclopedia. Greenwood Press, Connecticut, 2005.
Kafka, Franz. The Trial. Oxford University Press, Oxford, 2009.
Kafka, Franz. The Metamorphosis and Other Stories. Oxford University Press, Oxford, 2009.
Knight, Kevin. (Ed.) The MacIntyre Reader. University of Notre Dame Press, Notre Dame, 1998.
MacIntyre, Alasdair. After Virtue: A Study in Moral Theory. University of Notre Dame Press, Notre Dame, 1984.
Robertson, Ritchie. Kafka A Very Short Introduction. Oxford University Press, Oxford, 2004.
Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Kanisius, Yogyakarta, 1997.
Suseno, Franz Magnis. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Kanisius, Yogyakarta, 2000.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.
Borobudur Writers & Cultural Festival adalah wahana pertemuan antarkomunitas, antarkelompok, dan ruang dialog antara karya-karya budaya dengan publik.
Megaco (resmi H.248) adalah sebuah implementasi dari Media Gateway Control Protocol arsitektur [1] untuk mengendalikan Media Gateways di Internet Protocol (IP) jaringan dan masyarakat beralih jaringan telepon (PSTN). Dasar umum arsitektur dan antarmuka pemrograman awalnya digambarkan dalam RFC 2805 dan saat ini definisi Megaco spesifik adalah ITU-T Rekomendasi H.248.1.
Megaco mendefinisikan protokol untuk Media Gateway Controller untuk mengontrol Media Gateways untuk mendukung aliran multimedia di jaringan komputer. Hal ini biasanya digunakan untuk menyediakan Voice over Internet Protocol (VoIP) jasa (suara dan fax) antara jaringan IP dan PSTN, atau seluruhnya dalam jaringan IP. Dalam protokol tersebut merupakan hasil kolaborasi dari kelompok kerja MEGACO Internet Engineering Task Force (IETF) dan International Telecommunication Union ITU-T Study Group 16. IETF standar aslinya diterbitkan sebagai RFC 3015, yang kemudian digantikan oleh RFC 3525.
Istilah Megaco adalah sebutan IETF. ITU kemudian mengambil alih kepemilikan protokol dan versi IETF telah direklasifikasi sebagai bersejarah. ITU telah menerbitkan tiga versi H.248.1, terbaru pada bulan September 2005. H.248 mencakup bukan hanya spesifikasi protokol dasar di H.248.1, tetapi banyak ekstensi didefinisikan di seluruh H.248 Sub-series. Pelaksanaan lain Media Gateway Control Protocol arsitektur ada dalam protokol MGCP bernama sama. Ini digunakan melalui antarmuka yang sama dan mirip dalam aplikasi dan fungsi pelayanan, bagaimanapun, adalah protokol yang berbeda dan perbedaan yang mendasarinya membuat mereka tidak cocok.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Franz Kafka menulis novela Metaformosis di tahun 1915 yang fenomenal. Dari karya-karyanya kemudian lahir istilah yang dikenal masyarakat sebagai Kafkaesque.
Fiksi sastra tidak saja menghasilkan jenis hiburan bagi pembacanya, tetapi juga gagasan kritis terhadap problem eksitensi kemanusiaan. Gagasan yang kemudian menjadi renungan bagi pembacanya. Seperti halnya istilah Oedipus Complex yang digunakan Sigmund Freud dalam psikoanalisis untuk menengarai hubungan inses dan menyukai seseorang yang jauh lebih dewasa, merujuk atas peristiwa ironis dan tragis dalam drama klasik Oedipus Rex karya Sophocles (429 SM). Di mana, Oedipus membunuh ayah dan menikahi ibunya tanpa sadar.
Masyarakat juga mengenal istilah Orwellian untuk melihat sifat politik yang otoriter dan menghancurkan nilai-nilai demokrasi. Hal ini tercermin dalam frasa Big Brother dan Doublespeak (eufimisme seperti zaman Orba). Istilah ini diambil dari karya Goerge Orwell berjudul 1984 (1948). Dalam novel petualangan Don Quixote, kita juga bisa mengenal istilah Picaresque atau picaro. Yaitu untuk menyebut novel yang bersifat petualangan nakal yang satire, parodik dan episodik. Selain itu kita mendapati istilah Kafkaesque.
Istiah Kafkaesque muncul setelah Franz Kafka menulis dua karya besarnya berjudul Metamorphosis (1915) dan The Trial (1925). Seperti halnya karya novel sastra, Kafkaesque adalah dasar atau inti dari pandangan kritis Franz Kafka terhadap persoalan kemanusiaan yang dihadapinya. Meskipun lahir sebagai kelas menengah atas, Kafka yang mendapatkan gelar doktor hukum pada usia 23 tahun, merasakan diskriminasi rasial terhadap kaum Yahudi di Praha. Latar belakang ini mempengaruhi pandangan kritisnya melalui karya-karya fiksinya sebagai konteks masalah.
Kafkaesque dipandang sebagai sifat esensial atau jiwa kritis dalam setiap karya Kafka. Sementara orang menggunakan istilah Kafkaesque untuk menandakan kebuntuan yang dihadapi. Lebih dari itu, Kafkesque bermakna situasi kompleks yang tidak masuk akal (absurd) dan menyeramkan. Namun, makna Kafkaesque tidak sekadar berhenti di sana. Frederick Karl, penulis biografi Franz Kafka, dalam wawancarnya di The New York Times (1991) menjelaskan bahwa Kafkaesque, ringkasnya setelah pengertian di atas adalah menyertakan semacam perjuangan melawan pola kontrol yang menelikung kemanusiaan.
Kafkaesque adalah semacam kehendak bebas dalam makna menentang determinisme, atau pola-pola yang menekan dan membuatnya kehilangan identitas diri bahkan kemanusiaannya secara utuh. Milan Kundera, misalnya, dalam narasi novelnya The Book Laughting and Forgetting (1978) menerjemahkan Kafkaesque sebagai “perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa”. Kafkaesque merujuk sikap manusia yang berjuang dalam tekanan belenggu kuat dan menekan, meskipun kemudian ia kalah.
Dalam novela Metamorfosis, kita mendapati Kafkaesque berupa perlawanan Gregor Samsa yang berubah menjadi seekor kecoa raksasa. Situasi di mana, ia mengalami absurditas dan kehilangan jati diri serta terputusnya koneksitas antara tubuh dan nalarnya. Dalam perubahan wujud itu, kognisinya masih berjalan normal. Dalam wujud barunya, ia berusaha tetap menjalankan rutinitas pekerjaan sebagai sales perusahaan. Mengikuti aturan atau pola-pola birokrat yang sudah terbentuk mapan dan determinis. Tetapi wujud barunya tak mampu menjalankan fungsi itu. Ia mengalami kebuntuan dan merasakannya sebagai realitas menyeramkan dan absurd dari kewajaran kemanusiaannya. Hingga akhirnya mati tragis dengan kehilangan simpati, bahkan dari keluarganya sendiri.
Sementara dalam novelnya The Trial, Joseph K, protogonis novel itu mengalami peristiwa penangkapan atas dirinya tanpa alasan dari otoritas hukum. Sebuah situasi yang sama absurdnya dengan Metamorfosis. Meskipun ia berjuang untuk mendapatkan keadilan, namun semua upayanya kandas oleh birokrasi yang berubah menjadi jaring laba-laba yang menjebaknya pada keputusasaan.
Seluruh upayanya dipantul-pantulkan dari otoritas ke otoritas dalam sistem birokrasi yang lamban dan memuakkan. Pengadilan hanya serupa tafsir tunggal-kaku menjebak nasib seseorang demi kepentingan tertentu. Secara komedi, keadaan birokrasi itu juga digambarkan sebagai karakter koala yang melayani secara lamban dalam film animasi “Zootopia” (2016). Tindakan lamban birokratis yang menciptakan ketegangan, kecemasan dan akhirya ketidakberdayaan. Birokrasi yang juga sering hadir sebagai lembaga tak masuk akal.
Kafkaesque juga mempengaruhi atau merasuk ke dalam jiwa fiksi-fiksi dunia setelah Kafka meninggal di tahun 1924. Haruki Murakami, misalnya, menulis Super-Frog Saves Tokyo (2002) menggunakan gagasan dan pola yang sama. Di mana Katagiri, karakter dalam cerita itu bertemu dengan seekor katak raksasa yang bisa berbicara di dalam apartemenya suatu pagi yang membingungkan. Seekor katak yang katanya mampu menyelamatkan kota Tokyo.
Demikian pula dengan Yu Hua, sastrawan Cina, menulis As The North Wind Howled yang diterbikan oleh The New Yorker (2018) menceritakan seroang pria yang terjebak oleh situasi yang tak masuk akal di pagi hari, di mana ia harus mengikuti seorang pria tak dikenal demi mengikuti ritual kematian seorang pria yang tak ia kenal yang dinyatakan sebagai kawan akrabnya. Ia tak saja harus mengakui hubungan itu, tetapi sekaligus terbebani tanggung jawab sebagai bagian keluarga.
Dalam novel Albert Camus berjudul The Stranger kita juga melihat gagasan yang sama tentang absurditas –meskipun kita jelas melihat perbedaan konsep. Absurditas dalam novel Camus diakhiri dengan penerimaan atas konsekuensi amoralnya yaitu “ketidakpedulian halus dunia” pada manusia (Camus memolak istilah eksitensialisme dalam novelnya The Stranger). Dalam karyanya yang lain Albert Camus, berjudul La Peste atau “Sampar” (1949), juga mendasarkan novelnya pada kebuntuan manusia menghadapi ancaman kematian melalui wabah pes. Dr Bernard Riuex, narrator dalam novel itu menyimpulkan bahwa perang melawan kematian adalah sia-sia. Meskipun demikian manusia toh harus tetap melawan.
Di Indonesia, kita juga bisa mendapatkan beberapa karya yang bersifat Kafkaesque. Pada novel Ziarah (1983) karya Iwan Simatupang, misalnya, kita juga mendapatkan tema absurditas. Di mana cinta dan rumitnya birokrasi membuat hidup karakater utama, seorang pelukis menjadi kehilangan kendali moral dan kewajaran. Keadaan di mana nihilisme yang menegasikan kehendak manusia menjadi pandangan moralnya. Cerita dimulai dengan situasi absurd, di mana tokohnya melompat dari gedung bertingkat dan menindih seorang perempuan. Bukannya mati, tetapi mereka justru bersetubuh dan menikah.
Akhir-akhir ini kita juga sering mendapatkan karya-karya cerpen yang berangkat dari karya Franz Kafka, terutama Metamorfosis. Beberapa cerpen berjudul “Samsara Samsa” ( Koran Tempo, 20 April 2019) karya Kiki Sulistyo dan cerpen berjudul “Gregor Samsa dan Seorang Wanita” ( BasaBasi[dot]co, 6 Maret 2020) karya Wahid Kurniawan mencoba mengeksplorasi secara imajinatif karakter Gregor Samsa. Meskipun dua karya tersebut tidak bisa disebut sebagai Kafkaesque atau bersifat pikiran Kafka, kecuali hanya upaya memodifikasi situasi fiktifnya.
“Samsara Samsa” mungkin lebih mendekati tema absurditas dalam Kafkaesque dibanding “Gregor Samsa dan Seorang Wanita”. Cerpen Wahid Kurniawan tersebut hanya menggunakan karakter Gregor Samsa sebagai protogonis yang menginginkan cinta seorang wanita sebagai simbol kecenderungan orang membaca sastra apa. Sementara, “Samsara Samsa” tidak saja memiliki tema absurditas, tetapi juga kebuntuan yang tak tertembus seperti halnya Metamorfosis, yaitu jebakan rutinitas yang menekan manusia melalui simbol karkater tambahan ‘teman narator.’
Demikianlah, Kafkaesque menjadi satu bagian dalam gagasan tentang dunia absurditas yang dicirikan oleh kebuntuan, telikung dan perlawanan tanpa akhir. Gagasan yang mendasarkan diri dari gagasan filolosis eksistensialisme atau nihilisme yang menempatkan manusia pada kehidupan tanpa tujuan dan lemah di hadapan alam. Namun, Kafkaesque juga meramu padangan tentang humanisme yang mencoba menempatkan harkat dan nilai-nilai kemanusiaan. Setidaknya demikian Kafkaesque dan pengaruhnya.[]
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
MEMBAYANGKAN hukum berada di dalam sebuah ruangan dengan satu pintu masuk yang dijaga oleh seorang penjaga. Kemudian, datang seorang pria dari desa meminta izin kepada penjaga pintu untuk menghadap hukum, namun penjaga itu menolak memberikan izin.
Pria itu menunggu dengan sabar, terus bertanya sampai kapan dia akan diizinkan menghadap hukum. "Tidak sekarang," jawab penjaga pintu.
Ketika pintu ruangan terbuka, pria itu mencuri pandangan mengintip ke dalam.
Penjaga pintu tersenyum sambil menantang pria itu untuk masuk ke dalam. Sang penjaga mengatakan di dalam ada penjaga yang lebih berkuasa dan mengerikan dibanding dirinya.
Pria itu tidak menyangka akan dipersulit dan ditakuti-takuti oleh sang penjaga. Pikirannya yakin bahwa hukum akan berlaku adil bagi semua orang.
Pria itu memutuskan untuk menunggu hingga mendapat izin untuk masuk ke dalam. Dia menunggu di depan pintu selama berhari-hari, bahkan bertahun-tahun, namun tak kunjung diizinkan untuk menghadap hukum.
Penjaga pintu ini berlagak seperti tuan besar, menjadi penghalang bagi dirinya untuk menghadap hukum. Dia mengutuk nasib buruknya, menggerutu pada dirinya sendiri.
Pada akhirnya, pandangan pria itu semakin kabur hingga tak dapat membedakan apakah hari semakin gelap atau matanya yang mulai menutup. Namun, ia semakin menyadari betapa sulitnya mengurus hukum dan mendapatkan keadilan.
Dia tak bertahan hidup lebih lama lagi. Sebelum menghembuskan napas terakhir, dia mengajukan satu pertanyaan terakhir kepada penjaga pintu.
“Semua orang berupaya berurusan dengan hukum. Bagaimana mungkin, bertahun-tahun lamanya, tak seorangpun kecuali saya telah meminta izin menghadap hukum?” tanyanya.
“Tak ada orang lain yang bisa mendapatkan izin masuk kesini, karena pintu ini dimaksudkan hanya untukmu. Sekarang saya pergi dan saya akan menutup pintunya,” jawab penjaga pintu.
Abstraksi ini adalah pesan yang disampaikan oleh seorang Pendeta Gereja Katedral kepada Josef K . Ini merupakan perumpamaan dari karya Franz Kafka yang terkenal, "Before the Law," yang diterbitkan secara terpisah saat novel "The Trial" (1925) sedang ditulis.
Dalam "The Trial", terdapat kisah Josef K, seorang bankir terhormat yang tiba-tiba ditangkap di apartemennya yang mewah pada pagi hari, tanpa penjelasan yang jelas tentang kejahatan yang dia lakukan.
Merasa tak bersalah, Ia kemudian berupaya mencari keadilan. Berkali-kali ia berbenturan dengan sistem hukum yang lambat.
Kehidupan K setelah ditangkap seperti bola pingpong yang memantul di antara para ahli hukum dan orang-orang yang bekerja di pengadilan, hingga akhirnya dia dieksekusi mati.
Jika ditafsirkan secara metaforis, abstraksi ini hendak menggambarkan sulit dan panjangnya mencari keadilan dalam proses hukum, terutamanya di pengadilan.
Penjaga gerbang, dalam perumpamaan Kafka, menggambarkan birokrasi yang hirarkis dan saling memiliki kekuasaan satu sama lain.
Proses pengadilan digambarkan sebagai proses yang bobrok, korup dan kotor. Hukum juga dipandang sebagai hal yang tak dapat dijangkau oleh semua orang.
Pada akhirnya, baik pria desa maupun K hanya tunduk pada otoritas hukum tanpa banyak melakukan perlawanan. Keduanya menghabiskan seluruh waktu, energi dan sumber daya mereka untuk mencari keadilan dan memahami sistem hukum yang tidak dapat dimengerti dan tidak masuk akal.
Abstraksi semacam itu sering terjadi dalam praktik hukum di Indonesia. Menurut data dari LBH Jakarta, tingginya laporan penyiksaan, misalnya pada 2017, yang dilakukan oleh penegak hukum selama proses penyidikan menegaskan bahwa masih banyak warga yang tidak bisa memperoleh akses ke bantuan hukum saat menghadapi masalah hukum.
Warga yang memiliki akses terbatas tersebut umumnya tinggal di daerah pedesaan dan memiliki pemahaman yang kurang tentang hak-hak mereka sebagai warga negara ketika berurusan dengan masalah hukum. Mereka berasal dari kelompok marjinal dan tidak mampu.
Di sisi lain, advokat cenderung lebih banyak berada di kota-kota besar, tempat di mana aktivitas ekonomi paling tinggi, dan jasa hukum yang mereka tawarkan sangatlah mahal.
Akibatnya, warga miskin tidak hanya semakin kesulitan untuk mengakses bantuan hukum, tetapi tujuan dari hukum itu sendiri juga tidak tercapai ketika hanya sebagian kecil dari masyarakat yang bisa mengakses dan mendapatkan perlindungan hukum, sementara yang lain terpinggirkan.
Usaha untuk mendapatkan bantuan hukum melalui organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga tidak mudah karena adanya ancaman atau intimidasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Dengan perjalanan peradaban yang terus berkembang, hukum dan aparat penegaknya semakin menemui kompleksitasnya. Keadilan kini terikat oleh prosedur dan hanya berfokus pada ketentuan tertulis, mengabaikan aspek-aspek sosiologis-empiris yang lain.
Fenomena ini dikenal sebagai belitan prosedur: zaman kini tidak lagi seperti zaman Nabi Sulaiman di mana proses pencarian keadilan relatif sederhana.
Dalam sebuah kisah pada zaman Nabi Sulaiman, seorang ibu menuding bahwa seorang wanita telah mencuri anaknya yang masih kecil, dan kemudian menukarnya dengan mayat anak wanita tersebut yang sudah meninggal.
Proses "pengadilan" kemudian dilakukan di balairung, di mana seorang yang bijaksana dan dihormati ditunjuk sebagai pengadil, dan putusannya dianggap jelas dan adil karena didasarkan pada kebijaksanaan dan tanpa prasangka. Tidak ada pengacara, banding, jaksa, atau suap.
Namun, kebijaksanaan yang sejalan dengan keagungan semacam itu jarang ditemukan pada manusia saat ini. Meskipun penegak hukum, terutama hakim, sering disebut sebagai wakil Tuhan dan diberi gelar "Yang Mulia".
Keagungan jabatan hakim adalah simbolisasi nilai paling ideal dari hukum, yaitu keadilan. Oleh karena itu, hakim dipandang sebagai sumber kepercayaan dan kepasrahan masyarakat untuk mendapatkan keputusan yang adil mengenai masalah-masalah yang dihadapi.
Namun, seperti yang digambarkan dalam perumpamaan Kafka, kompleksitas dunia membuat manusia semakin tidak berdaya dan menimbulkan prasangka-prasangka picik.
Di Indonesia, berbagai peristiwa tentang keadilan telah melibatkan para hakim yang dianggap gagal memenuhi keadilan publik, bahkan termasuk hakim di tingkat tertinggi, seperti hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak hanya hakim, tetapi aparat penegak hukum lainnya, termasuk polisi, dan jaksa, tampaknya rapuh dalam pikiran dan hati mereka. Mereka terombang-ambing dalam masalah-masalah dunia yang semakin kompleks; pangkat, jabatan, kekayaan, dan kegemerlapan lainnya.
Bahkan dalam pemikiran, mereka bingung dan berusaha mencari pijakan untuk membenarkan tindakan, meskipun kadang-kadang terpaksa membuat pijakan-pijakan tersebut secara tidak sah.
Akibatnya, undang-undang sebagai hukum tertulis terus bertambah dan digunakan secara selektif sesuai kepentingan.
Misalnya, kasus tiga petani Desa Pakel, Banyuwangi, yang tanpa alasan jelas diseret ke pengadilan. Setelah Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku oleh MK, mereka akhirnya dibebaskan.
Namun, pertanyaannya adalah mengapa prosesnya harus begitu rumit menunggu MK, sedangkan hakim-hakim di tingkat pertama dapat dengan baik memutuskan perkara yang menjerat mereka?
Jika cerita di zaman Nabi Sulaiman berlaku pada era hukum saat ini, maka dalam kasus seorang anak yang hilang diambil orang, bahkan jika orangtua mengetahui siapa penculiknya dan sang anak berkata sekalipun bahwa ia telah diculik, mereka masih harus mengikuti berbagai prosedur yang rumit, bahkan bukan hanya satu atau dua, tetapi mungkin ratusan prosedur.
Dengan demikian, baik pria desa dan K dalam abstraksi Kafka, ibu yang anaknya hilang, maupun petani Pakel memiliki nasib yang sama: mereka berteriak mencari keadilan, tetapi tidak tahu prosedur dan undang-undang mana yang harus diikuti. Mereka terperangkap dalam labirin keadilan.
Pada titik ini, para pencari keadilan dipaksa menyerahkan hal ini kepada orang yang mengklaim sebagai ahli hukum yang dapat menangani masalah tersebut.
Para ahli ini mengklaim bahwa mereka dapat menyelesaikan segala masalah, tetapi dengan harga yang tinggi.
Kafkaesque dan Keadilan
Dalam “The Trial” (1925), Kafka menggambarkan situasi yang sama absurdnya seperti dalam “Metamorfosis” (1915). Setiap tokoh berjuang untuk mendapatkan keadilan, namun semua usaha mereka terperangkap dalam birokrasi yang berubah menjadi jaring laba-laba yang menjebak pada keputusasaan.
Seluruh upaya mereka terpantulkan dari satu otoritas ke otoritas lain dalam sistem birokrasi yang lamban dan membingungkan. Pengadilan digambarkan sebagai tafsir tunggal-kaku yang menentukan nasib seseorang demi kepentingan tertentu.
Birokrasi digambarkan sebagai karakter koala yang melayani dengan lambat. Tindakan lambat birokrasi menciptakan ketegangan, kecemasan, dan akhirnya ketidakberdayaan. Birokrasi seringkali hadir sebagai lembaga yang tidak masuk akal.
Kafka menggambarkan berbagai jenis keadilan palsu, mengangkat masalah kelemahan sistem hukum, hakim tidak kompeten, pengacara tidak bermoral, penyelidikan yang tidak tepat, tidak adanya hak untuk membela diri, pelanggaran peraturan pengadilan, dan lain-lain.
Pandangan kritis Kafka terhadap kemanusiaan yang tercermin dalam kedua karyanya tersebut telah melahirkan pandangan yang dikenal sebagai Kafkaesque bagi para pembacanya. "Kafkaesque" dipandang sebagai sifat terpenting atau ruh dalam setiap karya Kafka.
Tokoh-tokoh yang terperangkap dalam situasi birokratis-kompleks tersebut berjuang melawan absurditas meskipun hanya memiliki pengetahuan dangkal dan tidak tahu tentang apa yang menimpanya.
Perjuangan melawan pola kontrol yang menindas kemanusiaan, kebuntuan, dan determinisme tersebutlah yang disebut sebagai "Kafkaesque".
Kemudian, Milan Kundera (1978) menerjemahkan "Kafkaesque" sebagai perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.
"Kafkaesque" merujuk pada sikap manusia yang berjuang di bawah tekanan belenggu yang kuat dan menindas, meskipun akhirnya mungkin mengalami kekalahan.
Dengan demikian, "Kafkaesque" merupakan representasi dari perjuangan manusia melawan kondisi yang mengancam kebebasan dan martabatnya.
Pandangan "Kafkaesque" dan abstraksi tentang keadilan tersebut menghantarkan pada pandangan bahwa ada kepalsuan yang dianggap sebagai kebenaran universal melalui hukum dan otoritasnya.
Meskipun ada asas fiksi hukum yang mengatakan bahwa semua orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure) dan ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan (ignorantia jurist non excusat), namun pada kenyataannya hukum tidak dapat dijangkau oleh semua orang dan hanya ada bagi mereka yang dapat memonopoli hukum.
"Kafkaesque" telah meramalkan sebuah sistem hukum di masa depan, di mana hukum dijalankan oleh birokrasi dan orang-orang yang korup, tidak berintegritas, dan bobrok.
Meskipun demikian, hukum tetap menjadi kebenaran tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat. Para pencari keadilan kemudian tetap dipaksa untuk tersesat dalam sistem tersebut.